Perbatasan dan Pembatasan

034_Arkananta Rasendriya
7 min readJul 3, 2021

--

Patroli PSBB di perbatasan Kota Malang dan Kabupaten Malang menjelang Idul Fitri 1441 H (2020)

“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.”

“Telah berpulang ke Rahmatullah saudari kita, Ibu Fulanah binti Fulan, pada Hari Senin, 11 Januari 2021 pukul delapan lebih dua puluh lima pagi tadi, di Rumah Sakit Saiful Anwar, karena…,” suara dari masjid dekat rumah Alina begitu menggema.

“Aduh, pasti ini Covid-19 lagi. Kopat kopet kopat kopet mulu!” gerutu Alina di ruang tamu rumahnya sambil mondar-mandir dan memegangi kepalanya.

“… karena penyakit komplikasi diabetes melitus dan jantung,” sambung pemberi pengumuman dari masjid tersebut.

“Ehmmm innaa lillaahi. Okee kali ini bukan karena Covid. Tapi Beliau kan rumahnya deket rumah kita, Pak. Ada tahlilan ngga ya? Aduh, kerumunan lagi!” seru Alina kepada bapaknya yang berdiri di belakang Alina.

“Tetap ada, Alina. Pakai prokes, kok,” jawab bapaknya.

“Ehmmm… tapi kan kerumunan, pak!” Alina menyanggah pembicaraan ayahnya.

“Jumlah peserta dibatasi, ada jaga jarak, dan yang didahulukan keluarga besarnya. Jadi tenang saja, lagipula mereka juga ada tindakan preventif kok, seperti disediakan tempat cuci tangan, pakai masker, dan kegiatan lainnya. Keluarga besar yang dari jauh juga sudah diswab antigen tadi habis dari rumah sakit, alhamdulillah negatif semua,” Sang Ayah menjelaskan kepada Alina dengan sabar.

“Baik, Ayah. Semoga semua baik-baik saja. Tidak ada klaster,” timpal Alina. “Tapi kenapa ngga daring aja ya, Pak?” Alina sambung bertanya.

“Mau bagaimana lagi? Kita tinggal di perkampungan proletar. Tidak semua berduit dan punya Zoom,” jawab ayah Alina.

“HUWAAAAAHHHHHHHHHHHH…..”

Suara tangis anak kecil menggema di sudut-sudut perkampungan Alina. Alina pun menghampiri anak tersebut.

“Kamu kenapa, dek?” tanya Alina.

“A… aku… emh… ibuku…. me… ninggal…. HUWAAAAAAAAHHHHHHHH…” jawab anak kecil itu.

“Bentar, ibunya anak ini kan bukan yang Ibu Fulanah tadi. Ada yang meninggal lagi berarti?” gumam Alina.

“Cup… cup… ayo dek kita masuk rumahmu dulu,” ajak Alina.

Tiba-tiba ketika mereka tinggal beberapa langkah lagi dari rumah anak kecil tersebut speaker masjid berbunyi lagi.

“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.”

“Telah berpulang ke Rahmatullah saudari kita, Ibu Aminah binti Amin, pada Hari Senin, 11 Januari 2021 pukul sembilan lebih dua puluh lima pagi, di Rumah Sakit Tentara Supra Oen, karena asma.”

DEG! Alina pun mau tak mau segera mengajak anak kecil tersebut ke rumah sang anak untuk test swab. Ketua RT kampung Alina tinggal memang telah meminta tolong ketua RT sebelah yang tinggal di perumahan elite.

“Hemmmm, sudah sepekan ini aku tidak keluar jauh, mentok-mentok ke rumah Alina,” gerutu Bonar, anak salah satu pengembang perumahan yang tinggal dalam perumahan elite di belakang kampung Alina.

“Mau gimana lagi, wilayah kita zona merah. Kemarin juga ada yang meninggal karena sesak nafas kan, dan positif atau negatif Covid-nya belum tahu meskipun keluarga yang meninggal tidak ada yang Covid,” ayah Bonar menjelaskan.

“Tapi di kampung sebelah itu katanya tetap ada Yasinan, yah. Masa kita online mulu?” gerutu Bonar.

“Kita di sini udah pada kenal Zoom kan? Tetangga-tetangga juga udah lancar nge-Zoom. Jadi pakai Zoom saja,” jawab ayah Bonar.

“Bagaimana, Pak, hasil tes swabnya?” tanya ayah Alina pada bapak dokter yang melakukan tes swab pada Alina dan keluarga Almh. Bu Aminah.

“Semuanya negatif, Pak. Bu Aminah juga negatif Covid-19 berdasarkan RT-PCR,” jawab sang dokter.

“Alhamdulillah… Lain kali tanya-tanya dulu ya, Alina, kalau ada tetangga sakit, gejala Covid atau ngga. Biar ngga cepat nyebar Covid-nya!” nasihat ayah Alina.

“Inggih, Pak. Sepuntene nggih Pak (Iya, Pak. Maaf ya, Pak),” Alina meminta maaf pada ayahnhya.

“Okee, sekarang awakmu (kamu) cepet balik ke rumah, cuci kaki cuci tangan, bantu ibu-ibu nyiapkan makanan. Bapak mau mbantu ngubur.”

“Inggih, Pak. Alina mau balik dulu.”

Setelah prosesi pemakaman selesai, Pak RT kemudian dhawuh (menyampaikan, bilang) di masjid dekat rumah Alina.

“Hari ini, kita kehilangan dua saudari kita, Ibu Fulanah dan Ibu Aminah. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kemudahan. Seperti biasa, tahlilan, yang telah menjadi budaya kita, tetap dilaksanakan. Tahlilan akan dilaksanakan pada malam pertama hingga ketujuh wafatnya tetangga kita, lalu malam keempat puluh, keseratus, setahun, dua tahun, dan seribu hari. Untuk malam pertama hingga ketujuh akan dilaksanakan mulai hari ini hingga hari sabtu di Masjid Al-Munawar (masjid dekat rumah Alina).”

Setelah Pak RT selesai menyampaikan informasi tersebut, para warga bergegas membubarkan diri. Tentunya dengan protokol kesehatan yang ketat.

“Pak, kenapa orang-orang di kampung pada tahlilan, ya?” tanya Bonar heran. Suara dari Masjid al-Munawar memang dapat terdengar hingga ke perumahan tempat Bonar tinggal.

“Itu kan sebagai wujud dari ekspresi #Mengbudaya Bonar. Awalnya, masyarakat Indonesia kan kebanyakan beragama Hindu atau Buddha. Kemudian Islam masuk. Pendatang dari Gujarat dan Arab sana paham bahwasanya Nusantara saat itu bukanlah bangsa yang suka kekerasan, sehingga mereka menyebarkan Islam ke sini tidak dengan cara perang, melainkan akulturasi budaya. Salah satu akulturasi yang dilakukan adalah dengan pembuatan suatu tradisi yang mengenang kematian seseorang. Oleh karena itulah tahlilan lahir,” jelas ayah Bonar.

“Maksud Bonar, kenapa mereka masih bersikeras tahlilan gitu loh, Pak?” tanya Bonar penasaran. Bonar sepertinya melihat ada pergeseran maksud antara pertanyaannya dan jawaban yang dilontarkan ayahnya.

“Mereka tahlilan kan untuk mendoakan tetangga mereka yang telah meninggal agar yang telah meninggal itu diampuni dosa-dosanya. Selain itu, tahlilan juga memupuk rasa empati. Di sana kalau tetangganya ga bisa nyelenggarakan tahlilan karena ga ada berkatan, mereka bakal urunan. Jadi ga perlu ribet masalah uang, ya meskipun kalau di daerah lain ada yang ga seempati itu, sih, kadang malah terbebani keluarga yang ditinggal,” jawab ayah Bonar.

“Maksud Bonar itu, kenapa mereka tetap tahlilan pas pandemi gini, Pak?” tanya Bonar agak ngegas karena ayah Bonar belum menyadari maksud pertanyaan Bonar.

“Oalaaah, maap bapak ga connect. Kalau itu karena mereka belum semua bisa nge-Zoom kaya di sini si, jadi kepaksa dilaksanakan offline,” terang ayah Bonar.

“Ehmmm ternyata begit-….” Belum selesai Bonar berbicara, telepon seluler Bonar berdering.

“Pak, tak ngangkat telepon dulu ya (aku mau angkat telepon dulu ya).”

“Monggo. (silakan)”

Percakapan telepon dilakukan secara bergantian, dimulai dari Bonar.

“Assalamualaikum lin, ono opo (ada apa)?”

“Waalaikumussalam. Eh piye toh iki jare arep nggarap PKM (Gimana si katanya mau kerjakan PKM)?”

“O iyoo lali cuk. Sek sek tak prepare (O iya lupa euy. Sebentar mau siap-siap).”

“Yo ayo ndang. Eh tapi sek aku bingung. (Oke cepetan ya. Tapi bentar aku bingung)”

“Cekelano lek bingung. (pegangan sana kalau bingung)”

“HILIH!!! Iki lo aku bingung, aku kudu nggolek jurnal endi yo gae PKM awake? (Ini loh aku bingung, aku harus cari jurnal di mana buat PKM kita?)”

“Sek, iki maksude masalah solusi aplikasi pengingat ibadah termasuk tahlilan pas pandemi kan? Ehmmmm, iso dimulai dari pro-kontra si.” (Bentar, ini maksudnya masalah solusi aplikasi pengingat ibadah termasuk tahlilan saat pandemi kan? Bisa dimulai dari pro-kontra si ini.)”

“Iki aku nemu artikel ndek Journal of Aswaja Studies. Tekan Unisnu Jepara, judule ‘Tradisi Perjamuan Tahlilan’, sing digae Abdul Wahab Saleem. Ndek kono enek pro-kontra, tapi Beliau nyimpulno ga salah karena emang ga nglanggar. Toh ancen bener kan, secara tontonan yo moco Yasin, Tahlil, karo ater-ater. Secara tuntunan melaksanakan sunnah Rasulullah ndungakne wong sedo. Secara tatanan yo kabeh masyarakat iku podho, kabeh yo bakal innaa lillaahi.”
(Ini aku dapat artikel di Journal of Aswaja Studies (sekaligus ini sumber dialognya Alina). Dari Unisnu Jepara, judulnya ‘Tradisi Perjamuan Tahlilan’, dibuat oleh Abdul Wahab Saleen. Di sana dibahas pro-kontra (tahlilan), tetapi Beliau menyampaikan (tahlilan) tidak salah karena memang tidak melanggar (syari’at Islam). Lagipula benar juga kan, secara tontonan ya isinya membaca Surat Yasin, Tahlil, dan mengantarkan makanan ke tetangga-tetangga (ater-ater). Secara tuntunan melaksanakan sunnah Rasulullah untuk mendoakan orang meininggal. Secara tatanan menjelaskan seluruh lapisan masyarakat itu sama, semua bakal innaa illaahi (meninggal))

“Ehmmm mantep mantep, emang iki memenuhi unsur kepercayaan dan unsur kemasyarakatan. Oke aku tak budhal omahmu yo.” (Aku berangkat ke rumahmu ya)

“Yoi.”

Penggunaan Bahasa Jawa di sini juga merupakan bentuk #Mengbudaya dari penulis yang merupakan warga Arjosari, Blimbing, Kota Malang.

Bonar pun berpamitan pada ayahnya dan berangkat ke rumah Alina. Sesampainya di rumah Alina, mereka membahas masalah PKM mereka. Mereka mengikuti PKM-KC untuk membuat aplikasi pengingat ibadah, baik ibadah pribadi maupun komunal.

“Oiyooo karena iki arepe pitching, nggae Bahasa Indonesia ae yo. Sakne penulise kate ngumpulno tugas dikpus lek atek translate,” kata Alina. (Oiyaa karena ini juga mau pitching, pakai Bahasa Indonesia saja ya. Kasihan penulisnya mau ngumpulin tugas dikpus (ga segera) kalau harus translate dulu)

“Okeee sipsippp.”

“Jadi gini Bonar. Masalah kita kan di latar belakang membahas tentang teknologi dan kebudayaan. Menurutku bener ngga sih kalau kita buat aplikasi ini buat tahlilan juga?” tanya Alina.

“Kataku sih oke. Apalagi ini pandemi Covid-19 kan. Harusnya ada perkembangan pesat di IT,” kata Bonar.

“Iya tapi masalahnya, apakah masyarakat segampang itu mau pakai alat kita?” tanya Alina.

“Kita kan ada survei kan. Ada namanya metode Slovin. Kita bisa pakai itu buat preferensi. Lagipula kan ngga cuma tugas kita aja buat menyelesaikan masalah ketaksinergisan budaya dan teknologi. Masyarakat bisa usul dan pakai, kita juga bisa cari bantuan pengembang aplikasi untuk mengembangkan dummy aplikasi kita, influencer bisa buat promosi, nah kita yang konseptornya. Jadi tentu semua harus sinergi dulu.” Bonar menjelaskan dengan rinci.

“Iya sih. Lagipula kalau kita ngga selarasin juga lama-lama kegerus zaman kan. Ilang itu nanti tahlilan. Apalagi sekarang banyak isu perpecahan agama dan masyarakat tentang tahlilan ini, toh padahal ini opsional. Karena di warga kita ada tahlilan, ya kita harus lestarikan. Dengan kehidupan serba canggih kita harus menyesuaikan. Sekaligus sarana pengenalan budaya. Inilah #TantanganMasDep kita.

“Bener juga. Dengan tahlilan kita bisa empati.”

“Hemmm bener juga ya. Kita harus pertahankan budaya dan agama kita dari isu-isu yang memecah belah. Indonesia ini Bhinneka Tunggal Ika, jangan sampai rusak akrena orang terntentu saja. Sekarang nyicil Laporan Kemajuan yu!”

“Hayu!”

Hemmm… mungkin ide ini sejauh ini baru penulis yang kepikiran. Menggabungkan dua tugas jadi satu. Tapi tidak apa-apa, semoga dengan ide ini, panitia #KATITB2021 bisa langsung nilainya gabungin jadi satu. Stay safe semuanya dan jaga budaya kita!!!

--

--

No responses yet